Banyak cara yang ditempuh oleh rakyat Indonesia untuk dapat memerdekakan bangsa dan mengusir penjajah dari Indonesia. Banyak kelompok-kelompok gerakan perjuangan yang bermunculan, seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera, Indische Partij, dan lain-lain. Namun hal tersebut belum dapat membuat Indonesia merdeka. Karena perjuangan mereka masih bersifat kedaerahan.
Tetapi dengan penug antusias dan semngat tinggi rakyat Indonesia tidak menyerah. Walaupun berkali-kali gagal, mereka anggap itu adalah keberhasilan yang tertunda. Mereka tetap berjuang untuk merebut kemerdekaan. Dengan semangat Bhineka Tunggal Ika dari seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya. Dan secara bertahap para penjajah yang telah kalah dengan bangsa Indonesia kembalike negaranya masing-masing.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Penyelenggara Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melakukan siding dan menetapkan :
- Mengesahkan UUD RI 1945,
- Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Drs. Moch. Hatta sebagai wakl Presiden RI,
- Sebelum terbentuknya MPR, pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Komite Nasional
Kemudian pada tanggal 22 Agustus 1945 PPKI bersidang kembali dan memutuskan untuk pembentukan Komite Nasional, maka di Jakarta dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat ( KNIP ) sebagai penjelmaan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan Kemerdekaan Indonesia dan berlandaskan Kedaulatan Rakyat.Pembentukan KNI Daerah ( KNID ) tidak sebaik KNIP. Namun pembentukan KNID ini adalah sebagai perwujudan proklamasi, yaitu hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan akan diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Maka pada tanggal 28 Agusuts 1945 di Karesidenan Pekalongan dibentuk KNID atas instruksi dari ketua KNIP untuk membantu Kepala Daerah. Dengan Ketua Dr. Sumbadji, Wakil Ketua Dr. Ma’as.
Residen Pekalongan waktu itu dijabat oleh Mr. Besar. Pemerintah pusat biasanya mengangkat Fuku Syuchokan ( Wakil Residen ) sebagai Residen dalam pemerintahan Republik Indonesia. Mr. Besar dilantik menjadi Residen Pekalongan pada tanggal 23 September 1945 oleh Ir. Soekarno atas usulan KNID Pekalongan. Dan secara resmi Jepang menyerahkan kekuasaannya pada Mr. Besar.
Usaha KNID pada waktu itu adalah pengambilan kekuasaan dari tangan Jepang. KNID Pekalongan pada bulan September 1945 sudah mulai menghubungi Syuchokan Pekalongan, yaitu Tokonami untuk menyerahkan kekuasaan seperti di daerah-daerah lain.
Dr. Sumbadji, Ketua KNID Pekalongan mengusulkan agar dibentuk Badan Kontak untuk menyatukan masyarakat serta untuk menampung aspirasi masyarakat agar tindakan yang diambil bisa manuggal dan terkoordinir. Namun hal tersebut tidak disetujui oleh Mr. Besar. Karena menurutnya semua aspirasi masyarakat telah tertampung dalam KNID.
Sebenarnya di Pekalongan terdapat 3 kekuatan moral yang mendukung pengambilan kekuasaan ini yaitu :
- KNID yang dipimpin oleh Dr. Sumbadji,
- BPKKP yang dipimpin oleh Dr. Ma’as,
- Angkatan Muda yang dipimpin oleh Mumpuni dan Margono Jenggot.
Ketiga kelompok moral tersebut melakukan berbagai pendekatan kepada Jepang dalam upaya pemindahan kekuasaan.Akhirnya pihak Jepang mau berunding dengan para wakil masyarakt Pekalongan dari 3 kelompok tadi pada tanggal 1 Oktober 1945 pukul 10.00. Namun karena suatu hal, perundingan diundur sampai tanggal 3 Oktober 1945 pukul 10.00 di gedung Kempeitai. Pihak Pekalongan diwakili oleh Mr. Besar, anggota KNID, dan Dr. Sumbadji. Penundaan perundingan tersebut memberi keuntungan bagi masyarakat Pekalongan. Karena mereka dapat menyebarkan berita tersebut kepada seluruh warga sehingga mereka dapat ikut serta dalam menuntut pemindahan kekuasaan.
Keesokannya masyarakat Pekalongan telah berkumpul di lapangan Kebon Rojo, depan gedung Kempeitai sejak pukul 08.00. Mereka dating dari Batang, Buaran, Comal dan Pekalongan dengan pakaian siap tempur dan membawa senjata seadanya. Perundingan pun dimulai pukul 10.00 tepat.
Dalam perundingan tersebut, masyarakat Pekalongan menuntut tiga pasal yaitu :
- Pemindahan kekuasaan dilakukan secara damai dan secepatnya,
- Semua senjata Jepang harus diserahkan kepada masyarakat,
- Memberikan jaminan kepada pihak Jepang bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik dan dikumpulkan di markas Keibitei ( sekarang kantor Kodya Pekalongan ).
Namun dari perundingan tersebut, pihak Jepang tidak setuju dengan ketiga pasal tersebut. Karena pihaknya masih berkewajiban menjaga status quo yang ada demi kepentingan, keamanan, dan ketentraman rakyat. Setelah 2 jam berunding, Mr. Besar keluar dan memberitahukan hasilnya yaitu pihak Jepang akan menyerahakan sebagian senjata kepada polisi Pekalongan agar jumlah senjata Jepang dengan ploisi sama. namun harus disimpan di societiet dan kuninya dipegang oleh Mr. Besar dan Komandan Kempeitai.Saat Dr. Sumbadji masih menjelaskan, tiba-tiba terdengar letusan senjata dari luar. Tidak diketahui dari pihak mana, tetapi seketika suasana di luar menjadi kacau. Akhirnya terjadi tembak-menembak anatara masyarakat dengan pasukan Kempeitai. Dan dua orang kakak beradik berhasil mengganti bendera Jepang dengan bendera Merah putih, Indonesia.
Karena terjadi kekacauan tersebut pihak Delegasi Jepang melarikan diri ke luar geung Kempeitai. Dan akhirnya rakyat pun masuk ke gedung dengan memnajat dinding, menerobos pagar, dan lewat atap untuk melucuti senjata Jepang.Dari perisitwa ini menelan korban jiwa sebanyak 35 orang, dan puluhan orang masih terkapar karena terluka. Mayat-mayat yang berserakan di Lapangan Kebon Rojo masih tetap smapi 2 hari lamanya. Kemudian dari pihak RS Bendan dan Dinas Kesehatan mengurus para korban yang masih ada di Lapangan Kebon Rojo tadi. Jepang akhirnya menyerah dan pindah ke Purwokerto pada tanggal 7 Oktober 1945.
Dari peristiwa itu, lapangan Kebon Rojo sekarang diubah menjadi Taman Monumen Juang 3 Oktober 1945 oleh Pemerintah. Dan gedung Kempeitai sekarang telah berubah menjadi Masjid Syuhada. Di depan masjid terdapat patung berbentuk 4 bambu dengan 5 buah ruas. Namun kini telah diubah menjadi 3 batang bambu dengan 10 biah ruas. Yang melambagkan peristiwa 3 Oktober.
Peristiwa di Lebak Barang.
Belanda datang kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1947 dengan diboncengi oleh NICA. Mereka melakukan berbagai aksi perebutan kekuasaan kembali dan mengacaukan ketentraman masyarakat Pekalongan. Banyak terjadi perlawanan dari rakyat namun tetap saja kalah. Ternyata aksi Belanda tersebut dilakukan juga di berbagai daerah.Pemerintah Pekalongan sendiri tidak sanggup menghadapi Belanda. Maka Pemerintah Pekalongan untuk sementara waktu mengungsi ke Lebak Barang. Sejak saat itu Lebak Barang menjadi pusat pemerintahan darurat Karesidenan Pekalongan. Wilayah Lebak Barang sendiri masih terisolir dengan wilayah Karanganyar. Hal ini menguntingkan para pejabat pemerintah yang mengungsi. Pejabat pemerintah yang mengungsi diantaranya Residen Pekalongan Wali Al-Fatah, Asisten Residen Soedjono, Sekretaris Residen Agoes M, Bupati Pekalongan M. Soerodjo, Patih Pekalongan Soeprajitno, Sekretaris Bupati Moechidin dan Wali Kota R. Soepeno. Untuk mencapai Lebak Barang sendiri mereka harus berjalan 5 jam di jalan setapak sepanjang 15 Km dengan melewati wilayah hutan belantara yang panjang.
Selama kurang lebih satu bulan mereka menempati pesanggrahan milik warga Belanda yang bernama Thomas dan rimah-rumah penduduk setempat. Masjid Jami’ Ar-Rahman merupakan masjid satu-satunya di daerah tersebut. Masjid itu terletak di Dukuh Sonje, Desa dan Kecamatan Lebak Barang. Menurut masyarakat setempat, masjid tersebut dibangun pada tahun 1936. Di masjid itu pula para pejabat pemerintah dan penduduk sekitar melakukan ibadah dan diskusi untuk menyusun strategi menghadapi Belanda.
Namun pihak Belanda telah mengetahui persembunyian pejabat pemerintah Pekalongan di Lebak Barang. Kemudian mereka pun melakukan serangan mendadak ke Lebak Barang. Dalam serangan tersebut, dua staf pemerintah Pekalongan yaitu Soekatyo dan Soekono gugur. Dan staf pemerintah yang lain mengungsi ke selatan yaitu Desa Tembelanggunung, Desa Pamutuh, Desa Depok, dan Desa Wonosido.
Sejak peristiwa penyerangan tersebut, masyarakat Indonesia pun tidak hanya diam. Mereka pun menyusun strategi untuk mengusir Belanda dari Pekalongan. Akhirnya masayarakat Pekalongan terus melakukan serangan gerilya yang dipimpin oleh Resimen 17 yang terdiri dari empat Batalyon, yaitu Batalyon Batang, Batalyon Pekalongan, Batalyon Comal, dan Batalyon Tegal. Serangan gerilya tersebut tentu saja membuat pihak Belanda kewalahan menghadapi masyarakat Pekalongan. Sehingga pada tahun 1949 Belanda pun pergi dari wilayah Pekalongan. Pemerintahan Karesidenan Pekalongan pun dipindah lagi ke tempat semula yaitu di bagian utara Pekalongan.
Untuk mengenang perjuangan di Lebak Barang, pada tahun 1961 Residen Pekalongan melakukan napak tilas dan mengusulkan pembangunan monumen di Lebak Barang. Akhirnya dibangun sebuah monument yang cukup bagus di pinggir jalan Mahameru, di depan musalla Al-Ikhlas.
Rombingan residen pekalongan sampai di desa depok dan mengungsi di hutan desa depok yang arah menuju air terjun curug cinde ...
BalasHapusMohon informasi dari bpk/ibu sekalian barangkali ada yg mengetahui kolega dari alm Mayor Tjipto Widuro dari Resimen 17 Pekalongan (eyang buyut). Mohon berkenan menghubungi
BalasHapusBpk Suyanto 085739155175.
Terima kasih